BAB XI
CONTOH KASUS
SETIAP BAB
1.
BAB 1 (Pengantar Ilmu Sosial Dasar)
Setiap tahun angka perokok pada remaja semakin
bertambah, terutama siswa yang masih duduk di bangku sekolah dasar hingga
sekolah menengah ke atas. masalah seperti ini tidak bisa di biarkan begitu
saja, kita semua dapat berpartisipasi agar perokok pada remaja setiap tahunnya
bisa berkurang, untuk menyikapi masalah ini agar di beri penyuluhan tentang
dampak buruk dan bahayanya perokok di setiap sekolah.
2.
BAB II (Penduduk, Masyarakat, dan Kebudayaan)
Rambu Solo’ Pemakaman Adat Tana Toraja
Siapa
yang tak kenal dengan Tana Toraja, negeri dengan begitu banyak adat istiadat
dan tempat tujuan wisata yang sangat indah. Tana Toraja, berjarak 300 kilometer
dari Makassar, Sulawesi Selatan, menyimpan berbagai macam adat dan budaya
leluhur yang diwariskan oleh nenek moyang mereka dan tetap lestari hingga kini.
Setiap keturunan suku Toraja, di manapun berada, wajib menjunjung tinggi akar
budaya nenek moyang mereka. Hingga kini, anak cucu keturunan suku Tana Toraja
yang berada di luar negeri dan berbagai wilayah di Indonesia, akan tetap
melakukan tradisi yang sama yang dilakukan oleh nenek moyang mereka ribuan
tahun yang lalu. Ketaatan mereka dalam menjalankan adat istiadat dan budaya
peninggalan nenek moyang mereka hingga kini, menarik banyak wisatawan asing dan
dalam negeri untuk mengunjungi Tana Toraja setiap tahunnya. Tana Toraja, kini
menjadi salah satu daerah wisata andalan yang dimiliki oleh Sulawesi Selatan.
Berbagai upacara adat yang dimiliki oleh Tana Toraja dan diselenggarakan setiap
tahun, menjadi magnet tersendiri bagi wisatawan asing.
Ada
berbagai upacara adat di Tana Toraja, salah satunya adalah Rambu Solo, upacara
pemakaman leluhur yang telah meninggal beberapa tahun sebelumnya. Acaranya
terdiri dari Sapu Randanan, dan Tombi Saratu’. Selain itu, dikenal juga upacara
Ma’nene’ dan upacara Rambu Tuka’. Upacara Rambu Tuka’ dan Rambu Solo’ diiringi
dengan seni tari dan musik khas Toraja selama berhari-hari. Rambu Tuka’ adalah
upacara memasuki rumah adat baru yang disebut Tongkonan atau rumah yang selesai
direnovasi satu kali dalam 50 atau 60 tahun. Upacara ini dikenal juga dengan
nama Ma’Bua’, Meroek, atau Mangrara Banua Sura’.
Sementara itu, Rambu Solo’ sepintas seperti pesta besar. Padahal,
merupakan prosesi pemakaman. Dalam adat Tana Toraja, keluarga yang ditinggal
wajib menggelar pesta sebagai tanda penghormatan terakhir kepada yang telah
meninggal. Orang yang meninggal dianggap sebagai orang sakit sehingga harus
dirawat dan diperlakukan layaknya orang hidup, seperti menemaninya, menyediakan
makanan, dan minuman, serta rokok atau sirih. Tidak hanya ritual adat yang
dijumpai dalam upacara Rambu Solo’. Berbagai kegiatan budaya menarik pun ikut
dipertontonkan, antara lain Mapasilaga Tedong (adu kerbau) dan Sisemba (adu
kaki). Rambu Solo’ akan semakin meriah jika yang meninggal adalah keturunan
raja atau orang kaya. Jumlah kerbau dan babi yang disembelih menjadi ukuran
tingkat kekayaan dan derajat mereka saat masih hidup. Di Rantepao, Anda bisa
menyaksikan upacara Rambu Solo yang meriah.
Pembangunan makan bagi keluarga yang meninggal dan penyelenggaraan Rambu
Solo’ biasanya menelan dana ratusa juta rupiah hingga miliaran. Tak heran,
karena banyak sekali ritual adat yang harus mereka jalankan dalam prosesi
pemakaman tersebut. Salah satu Rambu Solo’ yang besar, berlangsung hingga tujuh
hari lamanya. Yang seperti itu disebut Dipapitung Bongi. Hewan yang harus
dipotong saja tak kurang dari 150 ekor, yang terdiri dari kerbau dan babi.
Dagingnya akan mereka bagikan kepada penduduk desa sekitar yang membantu proses
Rambu Solo’.
Upacara yang menyedot perhatian turis asing dan wisatawan lokal
adalah adu kerbau atau yang biasa
disebut Mapasilaga Tedong. Sebelum diadu, dilakukan parade kerbau terlebih
dahulu. Kerbau adalah hewan yang dianggap suci bagi suku Toraja. Yang bule atau
albino harganya akan sangat mahal, mencapai ratusan juta rupiah. Ada pula
kerbau yang memiliki bercak-bercak hitam di punggung yang disebut salepo dan
hitam di punggung (lontong boke).
Prosesi pemotongan kerbau ala Toraja, Ma’tinggoro tedong adalah kegiatan
selanjutnya, yaitu menebas kerbau dengan parang dan hanya dengan sekali tebas.
Semakin sore, pesta adu kerbau semakin ramai karena yang diadu adalah kerbau
jantan yang sudah memiliki pengalaman berkelahi puluhan kali. Rambu Solo’
mencerminkan kehidupan masyarakat Tana Toraja yang suka gotong-royong,
tolong-menolong, kekeluargaan, memiliki strata sosial, dan menghormati orang
tua. Mengenai adu kerbau, ia mengakui di satu sisi menjadi daya tarik
pariwisata, namun di sisi lain banyaknya kerbau, terutama kerbau bule (Tedong
Bonga), yang dipotong akan mempercepat punahnya kerbau. Apalagi, konon Tedong
Bonga termasuk kelompok kerbau lumpur (Bubalus bubalis) yang merupakan spesies
yang hanya terdapat di Toraja.
3.
BAB III (Individu, Keluarga, dan Masyarakat)
DUNIA ANAK-ANAK TERCEMAR NARKOBA
Narkoba tidak pandang bulu, siapa pun bisa menjadi
korbannya tak terkecuali anak-anak dan remaja. Dari 4 juta pengguna narkoba, 70
persen di antaranya adalah mereka yang berusia 14 hingga 20 tahun. Mengapa hal
ini bisa terjadi? Berikut laporannya.
Tak salah jika kita mengatakan dunia anak-anak dan
remaja adalah masa yang paling indah. Jika kita isi dengan hal-hal yang
menyenangkan namun dunia ini akan menjadi neraka ketika mereka terjebak dalam
lingkaran setan narkoba.
Lihat saja anak-anak ini rata-rata mereka yang
terlibat narkoba ini telah terlibat sejak usia dini. Awalnya mereka menjadi
korban kemudian secara kecil-kecilan menjadi pengedar atau kurir. Biasanya
anak-anak ini mulai mencoba menghisap ganja, kemudian berlanjut kepada
obat-obatan jenis psikotropika lainnya. Selanjutnya untuk memenuhi kebutuhan
akan obat terlarang ini. Mereka bisa menjadi pengedar kecil-kecilan.
Keterlibatan anak-anak ini juga dikarenakan mudahnya
mereka mendapatkan barang-barang haram ini. Mulai dari nongkrong-nongkrong di
warung hingga mendatangi langsung sang bandar untuk membelinya.Tak bisa
dipungkiri anak-anak turut menjadi korban obat-obatan terlarang. Ironisnya,
mereka yang rentan terkena kasus narkoba ini biasanya akibat pengaruh
lingkungan seperti mereka yang biasa hidup di jalan dan permukiman kumuh.
Menurut penelitian organisasi perburuhan
internasional sekitar 20 persen anak-anak di Jakarta terlibat dan menjadi
korban narkoba. Kendati data pertahunnya tersangka kasus anak-anak menurun
namun tetap saja mengkhawatirkan.
Selain kepolisian, orang tua tentunya harus menjadi
ujung tombak dalam perang melawan narkoba ini. Pasalnya deteksi awal gejala
pengguna narkoba bisa dilakukan oleh orang tua para pengguna narkoba ini
biasanya menunjukkan gejala menyendiri takut dengan orang lain, mudah
tersinggung dan sulit diajak bicara. Tentunya peran masyarakat harus lebih
besar dalam mencegah peredaran barang haram ini.
4.
BAB IV (Pemuda dan Sosialisasi)
Belum lama ini dunia pendidikan di hebohkan dengan
berita tawuran antar pelajar SMA di daerah jakarta selatan, hal ini
mengakbiatkan seorang pelajar tewas. tawuran pelajar ini merupakan salah satu
bentuk sikap negatif pemuda khususnya di kalangan pelajar yang meresahkan
masyarakat. Kurangnya pemahaman mengenai rasa bersosialisasi antar manusia
mengakibatkan seorang pemuda merasa dirinya tidak memerlukan siapapun , dan
merasa dirinya paling hebat, namun hal seperti itulah yang akan membuat pemuda
tersebut terlihat bodoh.
Para peneliti menyimpulkan bahwa terdapat lima
faktor yang menyebabkan terjadinya tawuran pelajar , yaitu: (1) Siswa yang
terlibat tawuran pelajar berasal dari keluarga yang tidak harmonis;
(2) Siswa yang terlibat tawuran berasal dari sekolah
yang berkualitas buruk dan berdisiplin rendah;
(3) Siswa yang terlibat tawuran adalah siswa yang
tingkat kecerdasan dan prestasi belajarnya rendah;
(4) Siswa yang terlibat tawuran adalah pecandu
narkoba; dan
(5) Siswa yang terlibat tawuran berasal dari
keluarga yang tidak mampu.
Jika kita sejenak menengok ke belakang ketika masa
penjajahan berlangsung di bangsa Indonesia , Pemuda merupakan generasi penerus
sebuah bangsa, kader bangsa, kader masyarakat dan kader keluarga. Pemuda selalu
diidentikan dengan perubahan, betapa tidak peran pemuda dalam membangun bangsa
ini, peran pemuda dalam menegakkan keadilan, peran pemuda yang menolak
kekeuasaan. Indonesia merdeka berkat pemuda-pemuda Indonesia yang berjuang
seperti Ir. Sukarno, Moh. Hatta, Sutan Syahrir, Bung Tomo dan lain-lain dengan
penuh mengorbankan dirinya untuk bangsa dan Negara. Sekarang Pemuda lebih
banyak melakukan peranan sebagai kelompok politik dan sedikit sekali yang
melakukan peranan sebagai kelompok sosial, sehingga kemandirian pemuda sangat
sulit berkembang dalam mengisi pembangunan ini.
5.
BAB V (Warga Negara dan Negara)
·
Di Negara Indonesia Ini, pemerintah telah membangun
sebuah lembaga yang bernama Kantor Pajak. Kantor Pajak berfungsi untuk
menampung semua data warga Negara Indonesia yang wajib membayar pajak,
akan tetapi masih banyak warga Negara yang seharusnya membayar, dia tidak
melaksanakan kewajiban ini.
·
Samuel Iwuchukwu Okoye
dan Hansen Anthony Nwaolisa adalah dua Warga Negara Asing berkebangsaan Nigeria
yang dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan di Indonesia karena terbukti telah
melakukan penyelundupan heroin di Indonesia. Samuel Iwuchukwu Okoye terbukti
melakukan penyelundupan 3,8 kg heroin yang disembunyikan di dalam tasnya saat
masuk ke Indonesia pada tanggal 9 Januari 2001. Majelis Hakim Pengadilan
Tangerang memvonis hukuman mati pada 5 Juli 2001. Vonis itu diperkuat oleh
putusan pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung. Sedangkan Hansen Anthony Nwaolisa
terbukti menyelundupkan 3,2 kg heroin pada tanggal 29 Januari 2001. Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Tangerang kemudian memvonis mati pada 13 Agustus 2001
dan Vonis itu diperkuat oleh putusan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung. Pada
akhirnya dua terpidana mati tersebut telah dieksekusi mati, Kamis tengah malam
di Nirbaya, Pulau Nusakambangan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Kenapa
Indonesia berhak mengadili kedua Warga Negara Asing tersebut? Atas dasar apakah
penegakan hukum itu dilakukan?
Asas teritorialitas mengajarkan bahwa hukum
pidana suatu negara berlaku di wilayah negara itu sendiri. Asas ini merupakan
asas pokok dan dianggap asas yang paling tua karena dilandaskan pada kedaulatan
negara. Ketentuan asas territorialitas di Indonesia termaktub dalam KUHP Pasal
2, yang berbunyi: “Aturan pidana dalam perundang-undangan, berlaku bagi setiap
orang yang melakukan perbuatan pidana di dalam Indonesia” Berdasarkan ketentuan
tersebut, maka Hukum Pidana Indonesia berlaku bagi siapa saja, baik itu Warga
Negara Indonesia maupun Warga Negara Asing yang melakukan tindak pidana di
wilayah Indonesia. Hukum Pidana Indonesia dapatlah diterapkan bagi pelaku
tindak pidana narkoba yang dilakukan kedua Warga Negara Nigeria tersebut. Hal
tersebut dibenarkan karena penerapan asas territorialitas di Indonesia. Hansen
Anthony Nwaolisa dan Samuel Iwuchukwu Okoye telah melakukan tindak pidana
dengan locus delicti -nya ialah wilayah Indonesia. Sesuai dengan asas
territorialitas, maka bagi siapa saja baik WNI maupun WNA yang melakukan tindak
pidana di wilayah Indonesia dapat
diberlakukan hukum pidana Indonesia baginya.
6.
BAB VI (Pelapisan Sosial dan Kesamaan Derajat)
Kasus Ade Irma misalnya, setelah 2 tahun
memperjuangkan haknya mendapatkan pelayanan kesehatan, oleh Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo baru bisa menerimanya. Walau keberhasilannya itu, harus dibayar
mahal dengan nyawanya yang tidak tertolong. Ade, satu diantara sekian banyak
pemilik sah kartu keluarga miskin yang ditolak keluhan kesehatannya oleh rumah
sakit. Risma Alfian, bocah pasangan Suharsono (25) dan Siti Rohmah (24), sudah
empat belas bulan tergolek lemah di atas tempat tidurnya. Kepalanya yang terus
membesar membuat Risma tidak bisa bangun. Sejak umur satu bulan, Risma sudah
divonis terkena hydrocephalus (kelebihan cairan di otak manusia sehingga kepala
penderita semakin besar).
Bidan tempatnya menerima imunisasi, meminta Risma
segera menjalani operasi atas kelainan kepalanya itu. Operasi tidak serta merta
bisa dilakukan lantaran butuh biaya yang begitu besar untuk mendanainya.
Bahkan dengan memiliki kartu Gakin yang diperolehnya
dengan susah payah, juga tidak mampu bisa membawa Risma dalam perawatan medis.
Risma ditolak RSCM lantaran tidak indikasi untuk dirawat.
7.
BAB VII (Masyarakat Pedesaan dan Perkotaan)
Kehidupaan masyarakat desa berbeda dengan masyarakat
kota. Perbedaan yang paling mendasar adalah keadaan lingkungan, yang
mengakibatkan dampak terhadap personalitas dan segi-segi kehidupan. Kesan
masyarakat kota terhadap masyarakat desa adalah bodoh, lambat dalam berpikir
dan bertindak, serta mudah tertipu dsb. Kesan seperti ini karena masyarakat
kota hanya menilai sepintas saja, tidak tahu, dan kurang banyak
pengalaman.Untuk memahami masyarakat pedesaan dan perkotaan tidak
mendefinisikan secara universal dan obyektif. Tetapi harus berpatokan pada
ciri-ciri masyarakat. Ciri-ciri itu ialah adanya sejumlah orang, tingal dalam
suatu daerah tertentu, ikatan atas dasar unsur-unsur sebelumnya, rasa
solidaritas, sadar akan adanya interdepensi, adanya norma-norma dan
kebudayaan.Masyarakat pedesaan ditentukan oleh bentuk fisik dan sosialnya,
seperti ada kolektifitas, petani individu, tuan tanah, buruh tani, nelayan
dsb.Masyarakat pedesaan maupun masyarakat perkotaan masing-masing dapat
diperlakukan sebagai sistem jaringan hubungan yang kekal dan penting, serta
dapat pula dibedakan masyarakat yang bersangkutan dengan masyarakat lain. Jadi
perbedaan atau ciri-ciri kedua masyarakat tersebut dapat ditelusuri dalam hal
lingkungan umumnya dan orientasi terhadap alam, pekerjaan, ukuran komunitas,
kepadatan penduduk, homogenitas-heterogenotas, perbedaan sosisal, mobilitas
sosial, interaksi sosial, pengendalian sosial, pola kepemimpinan, ukuran
kehidupan, solidaritas sosial, dan nilai atau sistem lainnya.Contohnya dalam
lapangan pekerjaan, sebagian besar masyarakat pedesaan lebih tertarik untuk
mencari nafkah di kota, karena di kota lebih luas lapangan kerjanya dari pada
di desa, lain halnya masyarakat kota yang selalu memilih tempat liburan ketika
ingin mendinginkan fikiran dan hati karena padatnya kehidupan di kota
kebanyakan memilih berliburan di daerah - daerah pedesaan.
8.
BAB VIII (Pertentangan Sosial dan Integrasi
Masyarakat)
Sebagai contoh kecil pertentangan dalam hubungan
sosial di negara kita yaitu di pedalaman daerah seperti di Papua yang masih
sering terjadi konflik sampai berakhir dengan perang antar suku. Sebenarnya
masalah yang ada hanyalah perebutan hak tanah yang menjadi konflik antar suku,
mereka sebenarnya mengenal penyelesaian masalah dengan cara musyawarah namum
hal itu juga tidak menemui titik temu dan berakhir bentrok lagi yang akhirnya
menimbulkan korban jiwa. Ini adalah pertentangan sosial yang terus menerus
terjadi di tanah papua yang sering meresahkan masyarakat sekitarnya.Bila kita
melihat di Ibukota negara kita ini Jakarta juga masih terjadi pertentangan
sosial bahkan di dunia pendidikan, hanya masalah spele saling ejek-mengejek
sampai terjadi tawuran antar pelajar kelompok dengan kelompok. Masalah spele
bahkan hanya karna pertentangan individu dengan individu menjadi besar
pertentangan kelompok dengan kelompok, dikarenakan hanya bila ada satu pihak
disakita maka semuanya merasa disakiti. Ini hal yang seharusnya menjadi bahan
refrensi kenapa harus menjadi besar, memang jelas mungkin masalah
kedudukan.Masalah kedudukan memang menjadi faktor pertentangan, perebutan
kedudukan dalam hal apapun yang bisa menimbulkan keributan dari awalnya hanya
sepihak menjadi kelompok dan berkembang menjadi masalah yang berakibat perang
antar kelompok. Ini sebuah masalah yang berawal dari masalah kecil yang tidak
diselesaikan dengan kepala dingin dan masih menggunakan otot hanya demi
mendapatkan apa yang diinginkan yaitu kedudukan yang lebih tinggi agar memegang
kekuasaan namun dengan cara yang salah dengan cara bodoh yaitu kekerasan.Memang
banyak hal yang menimbulkan pertentangan dalam hubungan sosial apalagi dinegara
kita yang notabennya negara dengan banyak suku agama warna kulit dan lain-lain.
Yang memang masih banyak perpecahan dalam masyarakat kita hanya dengan hal
kecil bisa terjadi pertentangan yang menimbulkan perpecahan. Apalagi dengan
perpecahan yang terjadi pada ibukota negara kita, kota yang harusnya sudah
menjadi contoh bagi kota lain dari segi sikap maupun sifat yang ditunjukan
sudah menjadi patokan bagi yang lainnya. Pelajar yang masih bentrok hanya dengan
masalah kecil, mereka terpelajar bahkan mengetahui bahwa hal tersebut tidak
baik dan tidak patut dilakukan oleh pelajar yang seharusnya menjadi tombak
penggerak bangsa Indonesia.Ada juga pertentangan yang terjadi karena adanya
provokator yang memperngaruhi atau sengaja mengadu domba satu pihak dengan
pihak yang lainnya, yang akhirnya bisa menimbulkan perpecahan dan konflik
antara kedua kelompok. Padahal belom tentu masalah tersebut ada akar
permasalahan yang jelas bahkan pada akhirnya hanya menemui titik buntu dalam
permasalahan itu sendiri yang hanya menghasilkan pertumpahan darah yang tiada
artinya diperjuangkan.
9.
BAB IX (Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Kemiskinan)
Sebagai contoh kasus, kita dapat
memperhatikan fakta kondisi ekonomi para guru atau dosen. Guru atau dosen yang
notabenenya adalah orang-orang berilmupengetahuan, sampai saat ini masih banyak
dari mereka yang keadaan ekonominya berada di bawah rata-rata. Fokus pada
seorang Dosen sebagai contoh, dimana secara keilmuan dan pengetahuan mereka sudah
tercitra sebagai gudangnya, disini jika boleh jujur, tidak sedikit Dosen yang
berada dalam kemiskinan. Hal itu karena mereka konsisten dengan pekerjaan
mereka, yakni dalam rangka mengemban dan menjalankan amanah Tridarma Perguruan
Tinggi.
Persoalan kemudian jika ternyata
terdapat Dosen kaya, itu mengarah pada fakta lain di luar tugas mereka sebagai
pengamal Tridarma Perguruan Tinggi. Fakta ini, misalnya, terkait dengan
keluarga keturunan orang kaya yang punya tambak, sawah, toko, panti pijat,
bahkan punya kapling Selat Madura. Dengan demikian orang yang berilmu
pengetahuan dan berkeahlian dalam suatu bidang teknologi tertentu tidak lantas
dapat dipastikan bahwa dirinya tidak tergolong miskin atau tidak berada dalam
kemiskinan.
. . BAB X (Agama dan
Masyarakat)
Kerusuhan Ambon (Maluku) yang terjadi sejak bulan
Januari 1999 hingga saat ini telah memasuki periode kedua, yang telah
menimbulkan korban jiwa dan harta benda yang cukup besar serta telah membawah
penderitaan dalam bentuk kemiskinan dan kemelaratan bagi rakyat di Maluku pada
umumnya dan kota Ambon pada khususnya.Kerusuhan Ambon (Maluku) yang semula
menurut pemahaman kalangan masyarakat awam sebagai sebuah tragedi kemanusiaan
yang disebabkan oleh suatu tindak/peristiwa kriminal biasa, ternyata berdasarkan
fakta-fakta yang ditemukan di lapangan adalah merupakan sebuah rekayasa yang
direncanakan oleh orang atau kelompok tertentu demi kepentingannya dengan
mempergunakan isu SARA dan beberapa faktor internal didaerah (seperti
kesenjangan ekonomi, diskriminasi dibidang pemerintahan dll) untuk
melanggengkan skenario yang ditetapkan.Begitu matangnya rencana yang dilakukan
yang diikuti dengan berbagai penyebaran isu yang menyesatkan, seperti adanya
usaha-usaha dari kelompok separatis RMS (Republik Maluku Selatan) yang sengaja
diidentifisir dengan Republik Maluku Serani (Kristen), adanya usaha untuk
membantai umat Islam di Maluku, keterlibatan preman Kristen Jakarta, isu
pemasokan senjata kepada umat Kristen di Maluku dari Israel dan Belanda, serta
berbagai isu menyesatkan lainnya telah menimbulkan semakin kuat dan
mengentalnya sikap dan prilaku fanatisme terhadap masing-masing agama (Islam
dan Kristen).Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan ABRI untuk
mengklarifikasi isu-isu yang tidak bertanggung jawab tersebut ternyata tidak
mampu meredam kekuatan dari mereka yang menginginkan agar kerusuhan Ambon
(Maluku) terus diperpanjang dan diperluas.Penciptaan kondisi ini semakin
menguat ketika ABRI (TNI dan Polri) telah dengan sengaja ikut menciptakan
konflik yang berkepanjangan melalui penanganan pengendalian keamanan yang tidak
profesional dan terkesan bertendensi mengipas-ngipas agar kerusuhan di Maluku
tak kunjung selesai.Peranan Pemerintah Daerah, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama,
Militer serta komponen bangsa lainnya yang ada di daerah melalui berbagai upaya
rekonsiliasi untuk mendamaikan pihak-pihak yang bertikai hanya bersifat
"semu" belaka. Satu dan lain hal disebabkan karena tidak ada kemauan
yang transparan dalam upaya menyelesaikan pertikaian, juga upaya rekonsiliasi
lebih bersifat Top Down dan bukan Bottom Up.
Nama : Dayu Damayanti
NPM : 12113060
Kelas : 1KA08
Tidak ada komentar:
Posting Komentar