Minggu, 22 Mei 2016

Artikel Bahasa Indonesia Tugas 3



Sebagai bahasa persatuan bahasa Indonesia digunakan oleh lebih dari 240 juta orang penduduk Indonesia. (Data bulan Juli 2009: CIA The World Fact Book). Bahasa Indonesia juga dapat digunakan di negara-negara berbahasa Melayu seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam.
Sejak bulan Maret 2009 situs informasi pendidikan luar negeri di Singapura secara lengkap bahkan ditampilkan dalam bahasa Indonesia. Situs ini dibuat untuk memudahkan siswa dan orang tua mendapatkan informasi lengkap dan cepat mengenai pendidikan di Singapura.

Konon saat ini ada 45 negara yang ada mengajarkan bahasa Indonesia, seperti Australia, Amerika, Kanada, Vietnam, dan lain-lain. Bagaimana sebenarnya posisi bahasa Indonesia dibandingkan dengan bahasa lain?

Dengan jumlah penutur lebih dari 240 juta seharusnya bahasa Indonesia mampu menjadi lingua franca di Asia atau sedikitnya Asia Timur dan menjadi bahasa pilihan warga asing di dunia sebagai bahasa asing kedua atau ketiga.Pada kenyataannya bahasa Indonesia tidak sepopuler bahasa Jepang yang hanya memiliki 128 juta penutur. Atau bahasa Jerman yang hanya memiliki 96 juta penutur.

Menurut majalah Forbes edisi Februari 2008 10 bahasa paling populer yang dipelajari oleh mahasiswa di Amerika adalah: Spanyol, Perancis, Jerman, Itali, Jepang, Cina/Mandarin, Latin, Rusia, Arab dan Yunani Kuno. Hanya mereka yang tertarik di bidang geopolitiklah yang mempelajarai bahasa Swahili, Urdu, Farsi dan Indonesia, karena orang-orang yang memiliki keahlian berbicara dalam bahasa-bahasa ini sangat diminati oleh FBI(Federal Bureau of Investigation).

          Sampai tahun 1990-an bahasa Indonesia adalah salah satu bahasa asing yang paling populer di Australia. Banyak sekali sekolah-sekolah menengah mengajarkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua. Kini, popularitas bahasa Indonesia di mata para pelajar Australia berada di bawah bahasa Jepang dan Cina. Rahmad Nasution, koresponden kantor berita Antara di Brisbane, Australia, menulis di blog-nya bahwa selama kurun waktu dari tahun 2001 hingga 2007 penurunan jumlah mahasiswa yang mengambil bahasa Indonesia yang masih diajarkan di 20 lembaga pendidikan tinggi ini mencapai 12 persen. Sementara jumlah mahasiswa yang mengambil program bahasa Arab di lima perguruan tinggi tumbuh sebesar 78 persen, bahasa Cina yang diajarkan di 26 institusi tumbuh 30 persen, Korea (15,3 persen), dan Jepang (1,5 persen). Jumlah kolese dan sekolah lanjutan yang mengajarkan bahasa Indonesia pun makin sedikit. Akibatnya banyak Universitas yang harus menutup departemen bahasa Indonesia. Kondisi ini tidak hanya meresahkan banyak guru-guru dan dosen-dosen bahasa Indonesia karena harus kehilangan pekerjaan tapi juga pemangku kepentingan diplomasi Republik Indonesia di Australia.

Banyak faktor yang menyebabkan bahasa Indonesia tidak lagi populer di Australia. Selain perubahan arah politik selama pemerintahan John Howard, pemberlakuan peringatan perjalanan atau ‘travel advisory’ yang dikeluarkan pemerintah Australia setelah peristiwa bom bali banyak menghambat kunjungan warga Australia yang ingin mengunjungi Indonesia dalam rangka belajar bahasa Indonesia. Adanya sejumlah persyaratan dari pemerintah Australia yang wajib dipenuhi seorang guru sebelum diperbolehkan mengajar di negara itu juga membuat pemerintah Indonesia tidak dapat begitu saja mendatangkan guru bahasa Indonesia. Akibatnya, kekurangan tenaga pengajar bahasa Indonesia di sekolah lanjutan banyak diisi oleh warga Malaysia.

Dr. James Sneddon, associate professor dari Griffith Unversity yang kini sudah pensiun, menyayangkan bentuk promosi yang menekankan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang mudah. Hal ini memberi dampak yang negatif terhadap bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia dianggap tidak penting. Seperti di Jepang, mahasiswa-mahasiswa yang dianggap kurang pandai selalu diarahkan untuk mengambil bahasa Indonesia. Akhirnya bahasa Indonesia berkesan sebagai bahasa yang hanya cocok dipelajari oleh orang-orang yang bodoh saja. Menurut Dr. Sneddon, yang telah banyak menulis buku tentang pengajaran bahasa Indonesia, sebagaimana layaknya sebuah bahasa, bahasa Indonesia sama susahnya dengan bahasa lain. Bahasa Indonesia harus dipelajari dengan serius seperti kita belajar bahasa Inggris, Perancis dan lain-lain.

Banyak warga Australia yang sudah bertahun-tahun belajar bahasa Indonesia merasa kecewa karena tidak dapat menggunakannya ketika berkunjung ke Indonesia. Bahasa percakapan yang didengar tidak seperti bahasa Indonesia yang dipelajari di universitas. Diglosia di dalam bahasa Indonesia tidak pernah diajarkan. Baru beberapa tahun terakhir saja bahasa informal mulai dimasukkan ke dalam kurikulum. Dalam wacana lisan formal banyak para penutur di Indonesia yang tidak menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dan cenderung bebas. Hal ini menimbulkan kebingungan.

Bahasa Indonesia sekarang betul-betul menjadi ranah publik di mana tak seorang pun dan tak sekelompok pun bisa mengklaim cara berbahasa mereka lebih baik dan lebih benar dari yang lain. Perkembangan yang paling menarik adalah munculnya sekelompok orang yang menginginkan bahasa Indonesia dapat berfungsi lebih maksimal. Aspek fungsional di sini adalah bahwa bahasa tidak sekedar alat untuk berkomunikasi, namun bagaimana tata bahasa yang ada namun tidak pernah digunakan difungsikan secara maksimal untuk mendapatkan kata-kata baru yang lebih simpel namun efisien dan efektif.

Contoh yang sederhana saja adalah awalan ‘pe’. Sejak kecil kita tahu bahwa awalan pe yang berada di depan kata kerja berarti pelaku atau orang yang melakukan. Namun awalan ini hanya digunakan dengan kata-kata yang itu-itu saja, dan jarang digunakan dengan kata-kata lain yang baru. Berapa banyak di antara kita yang menggunakan kata-kata: pesinetron, pebulutangkis, pesepakbola, pebasket, pedangdut, pesepeda, pesepaturoda, pemobil, pemotor, pebecak, dan banyak lagi kata-kata baru yang sebenarnya ada dalam struktur tata bahasa kita, namun karena kita tidak kreatif, mereka nyaris tidak pernah meluncur. Pada umumnya kita menggunakan kata-kata: pemain sinetron, pemain bulutangkis, pemain sepakbola, pemain basket, penyanyi dangdut, pengendara sepeda, pemakai sepatu roda, pengendara mobil, pengendara motor, dan tukang becak.

Kasus awalan pe ini adalah salah satu kasus kecil saja dari sekian banyak kasus yang ada dalam kebiasaan berbahasa kita yang cenderung monoton dan tidak kreatif. Inilah sebenarnya makna prinsip bahwa bahasa menunjukkan bangsa. Prinsip ini tidak hanya bermakna bahwa kita adalah pemakai bahasa yang berbeda dengan bahasa masyarakat lainnya di dunia, namun juga menyiratkan bagaimana bahasa yang kita miliki melahirkan sebuah sistem pengetahuan yang canggih yang dapat mengatasi berbagai persoalan kebahasaan.

Ada 3 hal yang harus diperhatikan. Hal pertama yang paling penting adalah kemampuan kita untuk berkomunikasi dengan satu sama lain. Semakin kita jauh dari proklamasi tahun 1945, mengharuskan kita untuk senantiasa memperkaya kosa kata bahasa indonesia karena permasalahan kita semakin banyak dan kompleks sifatnya. Yang juga penting adalah keterkaitan kita dengan daerah-daerah di seluruh Indonesia dimana tidak bisa keputusan keputusan itu dibuat sendiri oleh Jakarta tapi juga harus menyertakan keinginan dari berbagai pihak yang memiliki kepentingan dengan Indonesia. Dalam hal ini peran bahasa Indonesia sangat penting agar tidak timbul kesalahpahaman.

Yang kedua, semakin jauh kita berjalan, semakin banyak persoalan yang menimbulkan makin tingginya keperluan untuk senantiasa mengembangkan bahasa Indonesia. Contohnya Talk Show yang kini banyak diselenggarakan oleh media elektronik menimbulkan banyak perdebatan atau polemik baik di surat kabar maupun media digital seperti internet. Bahasa Indonesia akhirnya menjadi keperluan kita untuk membangun konsensus yang dikehendaki oleh musyawarah mufakat.
Tapi memang ada sisi negatifnya, yaitu, dengan menyebarnya bahasa Indonesia ke seluruh pelosok nusantara, kini semakin banyak suku bangsa, daerah dan kelompok agama, kini mampu mengungkapkan ketidak puasannya terhadap satu sama lain. Dalam keadaan demikian ada yang berpendapat konflik lebih mudah terjadi. Dulu, tanpa bahasa pemersatu masing-masing daerah akan sulit berkomunikasi apalagi menyatakan kemarahan. Misalnya antara suku Banten Selatan dengan Tapanuli Utara atau daerah Minahasa dengan Bugis. Hal negatif lainnya adalah, seperti dikemukakan oleh UNESCO, hampir 700 bahasa regional di Indonesia terancam punah.

Yang terakhir adalah, jika kita menengok dunia film, dunia sastra dan dunia teater, bahasa Indonesia membuat kesusastraan, kebudayaan dan dunia seni Indonesia menjadi semakin kaya. Setiap lakon daerah kini bisa dibawa atau ditayangkan ke wilayah lainnya di Indonesia. Dengan teknologi multimedia, semakin banyak dorongan bagi para seniman untuk lebih kreatif menggapai pasar Indonesia yang luas ini.

Referensi 3 artikel terkait:




Tidak ada komentar:

Posting Komentar